“Satu keberhasilan ikhlas yang disengaja akan memberikan pemahaman berserah diri yang nyata dan tak tergoyahkan”
“Aku harus ikhlas...” atau “Sudahlah, kamu ikhlaskan saja..”
Kalimat-kalimat
seperti di atas sangat sering kita dengar bahkan kita ucapkan. Tapi,
apakah kita sudah memahami apakah ikhlas itu?
Ikhlas
ditinjau dari sisi bahasa berasal dari kata kholusho, yaitu kata kerja
intransitif yang artinya bersih, jernih, murni, suci, atau bisa juga
diartikan tidak ternoda (tidak terkena campuran). Ikhlas menurut bahasa
adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa
mencampurinya. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Dan
sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran
bagi kamu. Kami memberi minum dari apa yang ada dalam perutnya (berupa)
susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi
orang-orang yang meminumnya.” (QS. An-Nahl: 66)
Pada ayat
di atas Allah Swt. Telah memberikan pelajaran bagi kita lewat binatang
ternak. Betapa Dia telah memisahkan susu dari campuran kotoran dan
darah, padahal ketiga macam benda tersebut sama-sama berada dalam satu
wadah (perut).Demikianlah makna ikhlas, yakni sesuatu yang bersih dan
murni dari segala campuran. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama
sekali tidak dicampur dengan campuran dari luar.
Ikhlas
merupakan “ilmu” tertinggi yang diberikan Allah kepada umat manusia, dan
jika ilmu ini diterapkan dalam setiap langkah kehidupan, Allah
menjanjikan limpahan berkah kebaikan bagi kita. Seperti halnya rezeki,
jatah rezeki kita semua sama. Yang membedakan pendapatan rezeki kita
adalah kualitas hidup kita atau kesesuaian hidup kita dengan
kehendakNYA. Sayangnya, banyak orang yang karena mengalami kesulitan
menerapkan ikhlas, mereka tidak tertarik lagi untuk menggunakannya.
Kalimat-kalimat semacam di atas mulai bermakna pesimis “Ikhlas itu
sulit..” atau “Bagaimana cara agar kita bisa ikhlas? Ah, sulit sekali
rasanya...”
Sebenarnya mudah. Otak kita saja yang mengatakan sulit!
Terlebih
dahulu, marilah kita tingkatkan kesadaran kita. Mungkin Anda akan
bertanya-tanya. Mengapa kesadaran? Bukankah topiknya keikhlasan?
Saudaraku,
di zaman informasi datang begitu deras, di mana kita belum sempat
mengolah informasi sebelumnya secara sadar, informasi lainnya sudah
membanjiri diri kita. Lewat internet dan media massa kita mendapat
‘hantaman-hantaman’ informasi dari seluruh pelosok negeri yang
dihadirkan setiap saat sehingga membuat kita ‘mabuk’ informasi. Dalam
keadaan ‘teler’ begitu kesadaran amatlah mahal.
Kesadaranlah
yang bisa menjawab, apakah kita hidup karena ikhlas atau karena nafsu?
Lebih lagi, lewat kesadaranalah petunjuk hidup ikhlas dapat dibumikan
menjadi keterampilan. Karena tanpa kesadaran yang cukup, segala
pengetahuan yang kita miliki menjadi teori semu penghias kepala semata.
Kesadaran adalah aset manusia yang sangat penting, tapi seringkali kalah
promosi dengan kepintaran.
Dalam era globalisasi seperti
saat ini semakin terasa betapa kita memerlukan orang yang kuat
kesadarannya lebih banyak daripada orang yang sekedar banyak
pengetahuannya (pintar). Kesadaran akan keterbatasan miliknya, juga
kesadaran (benar-benar merasakan) ‘kesempurnaan’ yang menjadi fitrahnya.
Keikhlasan tidak dapat dibangun dengan kepintaran yang secara sengaja
telah mengalami peningkatan melalui sekolah. Keikhlasan dapat diakses
melalui kesadaran akan kekuatan ikhlas yang begitu dahsyat manfaatnya
bagi hidup kita.
“...barangsiapa yang bertaqwa kepada
Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya
rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya)
..... dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah akan
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” ( Ath-tholaq : 2-4)
Lihatlah!
Betapa kemudahan adalah paket lanjutan dari keikhlasan. Di mana ketika
seorang hamba mampu bertaqwa (murni beriman) kepada Allah, Allah
menjanjikan baginya jalan keluar. Ketika seorang hamba bertawakkal
(murni berserah) kepada Allah, Allah mencukupkan keperluannya. Dan pada
ayat terakhir sangat jelas! Niscaya Allah akan menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya.
Keajaiban yang terjadi di
sekeliling kita, mulai kita kaitkan dengan aspek hoki alias
keberuntungan. Ketauhilah bahwa sesungguhnya keberuntungan pun dapat
kita ciptakan (tapi di sini saya tidak membahas keberuntungan).
Keajaiban, sesungguhnya adalah proses alamiah dan ilmiah yang sudah
dipersiapkan untuk kita nikmati lengkap dengan kode akses rahasianya
yaitu IKHLAS. Mengapa dikatakan ilmiah?
Akses menuju
keberuntungan adalah ikhlas. Ikhlas adalah software yang secara fitrah
sudah ada dalam diri kita masing-masing bahkan sejak bayi. Artinya, di
dalam diri kita ikhlas telah mempunyai tempat tersendiri (zona ikhlas).
Sebuah miracle atau keajaiban terjadi karena ketika seseorang ikhlas
berserah diri sesungguhnya ia sedang menyelaraskan pikiran dan
perasaannya dengan kehendak Ilahi yang menghasilkan kolaborasi niat yang
luar biasa pada level kuantum di zona ikhlas. Saat terjadi, kemudahan
dari Allah (sering kita sebut keajaiban) seolah otomatis hadir dalam
hdup kita.
Segala kemudahan (keajaiban) yang didapat dari
keikhlasan yang kita akses tidak mungkin dapat kita rasakan jika kita
tidak memiliki kesadaran yang cukup. Kita hanya akan menganggapnya
sebuah kebetulan. Karena itu, ketika seseorang secara ‘sadar’
menggunakan ‘keikhlasan’ dalam setiap tatanan kehidupannya, berbagai
‘kemudahan’ seakan mengalir tanpa hambatan. Dan kesadaran inilah yang
menjadikannya ‘ketagihan’ menggunakan ikhlas sebagai kekuatan.
“Ikhlas
itu kunci keberhasilan. Para salafushalih yang mulia, tidak menang
kecuali karena kekuatan iman, kebersihan hati, dan keikhlasan mereka…”
(Hasan al-Banna)
(Hasfinda Fakhir Mufid - Kontributor 100topalestine.org)